Rory menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar pagi yang terasa berbeda di paru-parunya. Aroma tanah basah dan dedaunan hijau memenuhi indra penciumannya.
Jakarta, dengan hiruk pikuknya, gedung-gedung pencakar langitnya, dan polusi yang menyesakkan, kini hanya tinggal kenangan.
Ia telah memutuskan untuk meninggalkan kehidupan elitnya di ibukota dan kembali ke desa, tempat neneknya dulu tinggal.
Di sini, Rory mewarisi tanah seluas dua hektar yang terbentang luas, tanah yang akan menjadi ladang baru untuknya mengejar mimpi.
Rory bukan tipe orang yang suka bertani. Ia lulusan universitas ternama di Jakarta, bekerja di perusahaan multinasional, dan hidup dalam kemewahan.
Namun, setelah kehilangan neneknya yang sangat ia cintai, Rory merasa hampa. Ia kehilangan arah, merasa terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan tak bermakna.
Kembali ke desa, mengelola tanah warisan neneknya, adalah keputusan yang sulit, tetapi juga terasa tepat.
Di desa, Rory bertemu Jalu, pemuda seumurannya yang juga belum menikah. Jalu adalah anak petani yang ramah dan pekerja keras.
Ia adalah keponakan Pak Murdi, orang yang dulu membantu almarhumah neneknya mengelola kebun. Pak Murdi adalah orang kepercayaan neneknya.
Pak Murdi mengajak Jalu karena Pak Murdi tak bisa lagi membantu penuh, selain karena usianya yang tak lagi muda, Jalu juga bisa lebih diunggulkan secara fisik.
Sejak saat itu, hubungan mereka semakin dekat. Mereka berbagi cerita, saling membantu, dan menghabiskan waktu bersama di tengah sawah dan kebun.
Karena usia yang tak jauh beda, mereka lebih seperti saudara. Rory yang anak tunggal itu merasa punya seseorang yang begitu dekat dengannya.
Rory belajar banyak hal dari Jalu. Ia belajar tentang cara menanam, merawat, dan memanen berbagai jenis tanaman.
Ia belajar tentang kehidupan di desa, tentang kesederhanaan, tentang kebersamaan, dan tentang arti sebuah keluarga.
Jalu, di sisi lain, juga merasakan kehadiran Rory yang membawa angin segar ke dalam hidupnya.
Rory, dengan pengetahuan dan pengalamannya di kota, membuka wawasan baru bagi Jalu. Mereka saling melengkapi, seperti dua sisi mata uang yang berbeda, namun tetap utuh.
Malam hari, setelah lelah bekerja di kebun, Rory dan Jalu sering duduk di teras rumah, menikmati secangkir teh hangat dan langit malam yang dipenuhi bintang.
Mereka bercerita tentang masa kecil mereka, tentang mimpi dan harapan mereka, tentang apa yang mereka inginkan dari hidup.
Perlahan, Rory merasakan ketertarikan yang lebih dalam pada Jalu. Ia terpesona dengan sifat Jalu yang baik hati, pekerja keras, dan selalu siap membantu.
Sesekali ia juga melirik lekuk tubuh Jalu yang menawan, khas cowok desa yang terbiasa bekerja keras.
Jalu pun merasakan hal yang sama. Ia terkesima dengan kecerdasan dan keteguhan hati Rory. Ia melihat Rory sebagai sosok yang kuat dan mandiri, namun tetap lembut dan penuh kasih sayang. Rory lebih seperti kakak bagi Jalu.
Keduanya menyadari bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang istimewa satu sama lain.
Suatu malam, di bawah langit bertabur bintang, Jalu mengutarakan perasaannya kepada Rory. Rory, yang selama ini menyimpan perasaan yang sama, merasa takjub dengan pengakuan itu.
“Tapi baru kali ini aku ngerasa nyaman,” ungkap Jalu.
“Let it flow, biarin ngalir aja,”, balas Rory sambil mendekatkan tubuhnya ke Jalu.
Mereka kini begitu dekat, di atas ranjang busa yang empuk.
“Ngerasa aneh gak? Kalau pepetan sama cowok gini,” tanya Rory.
“Gak biasa aja sih.”
“Mulai dibiasain.”
Rory mencari sesuatu di dalam tasnya dan akhirnya menemukan sesuatu yang dia cari.
“Lumayan masih ada dua,” ucapnya.
Dia menunjukkan dua pcs kondom bungkus biru.
“Itu apa?” tanya Jalu.
“Masa gak tau?”
Jalu menggeleng. Rory menunjukkan ke Jalu lebih dekat dan Jalu mulai paham, seumur-umur dia belum pernah memegang benda itu.
“Di sini jauh dari minimarket soalnya.”
“Eitss … lagian aku belinya juga online, gak langsung. Mau coba?”
“Ha, kita kan sesama cowok.”
“Gpp pokok kamu bisa ngaceng,” desak Rory.
“Bi… bisa sih,” jawab Jalu.
“Buka celananya.”
“Ha? Malu lah.”
“Ngapain malu sesama cowok.”
Rory pun pelan-pelan menarik celana pendek Jalu ke bawah dan ternyata Jalu udah ngaceng maksimal.
“Udah ngaceng aja lu.”
Rory melihat kontol Jalu yang berurat dan tegak kedepan, sedikit melekuk ke atas.
Pelan-pelan Rory memasangkan kondom ke kontol Jalu lalu melumasinya dengan monogatari.
Jalu hanya rebahan sambil menutup matanya karena malu, Rory duduk di atas perut Jalu, merangsek agak ke belakang dan mencolokkan kontol Jalu ke lubangnya.
“Kontolmu keras banget, manteb nih.”
Rory menggoyang-goyangkan dan menaik turunkan bokongnya, dan Jalu lah yang perlahan mengerang keenakan.
“Enak?”
Ia mengangguk malu. Lalu Rory menarik tangan Jalu dan membimbing jemarinya memelintir puting.
Malam itu Jalu ditreatment Rory menjadi top dan sepertinya berjalan lancar.
-00-
Sejak kejadian malam itu, kehidupan Rory di desa semakin menyenangkan. Ia mengurus manajemen dan menjalin relasi dari luar.
Sementara Jalu mengurus teknis perkebunan, termasuk memantau pekerja dan merawat tanaman.
Rory memesan satu pack kondom dan beberapa pelumas sebagai stok. Jalu sudah mulai terampil jadi top dan tak perlu lagi bimbingan.
Mereka bersenggama seminggu sekali, dan Rory yang sebenarnya vers harus berperan menjadi boti karena Jalu tak mungkin diajak gantian, khawatir dia kesakitan dan berdarah.
Selain itu, secara gesture, sepertinya mood Jalu adalah jadi top.
“Kamu pertama kali main sama aku kan?” tanya Rory.
Jalu mengangguk, kepololosan yang tak bisa ditutupi.
Rory mulai berpikir gimana andai Jalu menyetubuhinya tanpa kondom, dia pengen merasakan pejuh Jalu muncrat di dalam dan menyirami ususnya.
Rory mulai berpikir liar. Bisa dicoba, lagian aku orang pertama, dia bukan player. Batinnya.
B E R S A M B U N G
Komentar
Posting Komentar